Abu Imran Al-Wasithi, salah seorang sufi besar pada abad 12 H, bercerita:
Dikisahkan pada suatu hari, Abu Imran berada pada sebuah kapal di tengah lautan yang luas. Tanpa diduga sebelumnya, kapal itu bocor. Semua awak kapal dan penumpang menyelamatkan diri masing-masing. Kini tinggallah Abu Imran dengan istrinya yang sedang hamil tua. Tidak mungkin bagi mereka meninggalkan kapal tersebut untuk menyelamatkan diri. Akibat diguncang ombak sedemikian rupa secara tiba-tiba istrinya melahirkan anak mereka. Saat itu ia menginginkan air. Abu Imran-pun bingung tidak tahu musti kemana mencari air tawar karena disekelilingnya dipenuhi air laut yang asin. Kemudian ia mengangkat kepala-nya ke langit memohon kepada Allah swt agar diberikan air minum untuk istrinya yang kehausan dan sangat membutuhkan air minum.
Kemudian Abu Imran melihat ke langit dan dilihatnya seorang lelaki tua yang duduk di atas awan. Pada tangannya ada cawan air yang berwarna kemerah-merahan jingga seperti disepuh emas dan dipenuhi air minum yang segar.
Lelaki tua itu berkata, “Ambillah cawan air ini jika kamu mau.'
Abu Imran tentu saja keheranan, bagaimana mungkin ia bisa berada di atas awan. (Dalam bahasa Arab, awan disebut hawa. Dan hawa mempunyai arti yang lain yaitu hawa nafsu.)
Abu Imran-pun bertanya kepadanya, 'Bagaimana engkau bisa berada di atas hawa?'
Lelaki tua itu menjawab, 'Taraktu hawaya fa ajlasani fil hawa. Aku sudah meninggalkan hawa nafsuku karena itu Allah swt memberikanku kedudukan di atas hawa.'
Seperti biasa, kisah-kisah sufi tidak bisa dicerna begitu saja. Kita harus merenung agak dalam. Di dalam perjalanan seorang sufi, dalam rangka mendekati Allah swt, tidak ada penghalang yang paling besar yang menutupi jalan menuju Allah, selain menundukkan hawa nafsu.
Hawa nafsu artinya keinginan-keinginan dalam diri kita. Nafsu diterjemahkan sebagai egoisme; kecenderungan kita untuk mencapai keinginan-keinginan diri. Keinginan untuk mencapai kenikmatan sensual, kesenangan jasmaniah, keinginan untuk makan dan minum, bersenang-senang, keinginan untuk diperhatikan, diistimewakan, dan dianggap sebagai orang yang paling penting, yang biasanya lazim kita sebut sebagai kepongahan atau arogansi itu, semuanya termasuk ke dalam hawa nafsu.
Allah swt tidak bisa didekati apabila hawa kita masih berdiri sebagai gunung yang tegak. Seperti kata para sufi, seseorang hanya bisa mendekati Allah swt dengan menaklukkan hawa nafsu atau egoisme yang ada pada dirinya itu.
Menaklukkan hawa nafsu tentulah tidak mudah, terlebih lagi hawa nafsu tersebut sudah terlampau kuat dan mendarah daging pada diri kita. Akan tetapi Allah swt juga menyimpan dalam diri kita suatu kekuatan untuk menaklukannya. Ia sudah built ini sebagai satu bagian penting dari kepribadian kita, satu kekuatan yang berasal dari percikan cahaya Tuhan. Inilah yang dinamakan dengan ‘Quwwatun Rabbaniyah’,atau ‘ kekuatan Tuhan’.
Kekuatan Tuhan ini hakekatnya terletak pada akal sehat kita. Apabila keinginan untuk mengejar hawa nafsu itu yang menguasai diri kita, maka kita sebenarnya adalah binatang-binatang secara ruhaniah. Walaupun secara jasmaniah, kita menampakkan penampilan yang seperti manusia.
Apabila kita senang memelihara dendam, perasaan iri hati, kejengkelan, dan kemarahan dalam hati kita, kita sesungguhnya adalah serigala-serigala yang buas. Dan apabila di dalam diri kita, yang berkuasa adalah kepandaian mencari dalih dan alasan untuk membenarkan kekeliruan-kekeliruan yang kita lakukan, secara hakikat kita sebetulnya adalah setan yang mempunyai penampilan sebagai manusia.
Akan tetapi apabila akal yang menundukkan hawa nafsu kita, maka kita akan dibimbing akal untuk menempuh perjalanan ruhani menuju Allah swt. Tugas akal dalam diri kita hakekatnya adalah sebagai “nurani” yang bisa membedekan yang baik dan yang buruk dan membedakan yang haq dan yang batil.; Akan sehat kita dapat mengendalikan seluruh hawa nafsu itu, dan dengan cara itulah, kita dapat mendekati Allah swt.
Apabila para Koruptor bertanya pada akal sehatnya/nuraninya, pastilah ia mendapat jawaban bahwa korupsi yang ia lakukan adalah salah. Apabila seorang penzina atau perusak rumah tangga orang bertanya pada hati nurfani atau akal sehatnya, apakah perbuatan zina itu benar, pastilah akan dijawab oleh akal sehatnya bahwa perbuatannya itu sama sekali tidak dapat dibenarkan. Juga apabila seorang pelaku maksiat apapun, sebelum melakukan maksiat bertanya pada akal sehatnya, apakah yang ia lakukan benar, pastilah kekuatan akal sehatnya akan menjawab bahwa itu tidak benar. Demikian dan seterusnya.
Sahabatku, marilah kita selalu berusaha menaklukkan hawa nafsu yang ada dalam diri kita dengan meletakkan ‘akal sehat’ kita di atas kekuatan-kekuatan yang berasal dari hawa nafsu itu. Hanya dengan itu kita akan bisa selamat dalam bahtera berlayar menuju Allah swt, menghampiri-Nya, dan melepaskan kerinduan kita kepada-Nya.
Wallahualam bissawab
Terima kasih, Semoga Bermanfaat
Jakarta, 15 Mei 2010
Billahit taufiq wal hidayah
Wassalamualaikum wr.wb
IpeHa (Gus Im)
"Utamakan SELAMAT dan SEHAT untuk duniamu, Utamakan AKHLAK, SHOLAT dan ZAKAT untuk akhiratmu"
0 comments:
Post a Comment